Tuesday, September 27, 2005

my movie story

Semalem ke TIM, jadi inget jaman dulu sering maen ke sana.
Bukan nongkrong gak jelas tapi semata demi 'barangkali ketularan ilmu' gituh.

Cinematography.
8 tahun yang lalu, 1997.

Dari SMA dulu pengen banget masuk ke IKJ jurusan cinematography tapi gak kejadian.
Waktu maen sama beberapa anak cinemato IKJ sempet iseng ikutan proses bikin film pendek buat tugas akhir salah satu temen.

Ceritanya tentang satu orang cowo' yang nyolong jemuran trus dikejar orang sekampung tapi berhasil lolos dan baju hasil labaannya itu dijual buat beli obat buat bapaknya yang sakit2an dalam durasi 30 menit.

Buat gua saat itu, seharusnya film itu cukup bisa mancing emosi: ya marah, kesel, sedih, mengharukan sekaligus kocak. Gua gak terlalu berkesan sama hasil akhirnya tapi lebih ke proses bikinnya.

Kameranya handheld yang saking asiknya megang kamera, si cameraman yang juga merangkap sutradaranya jadi heboh karena mesti lari sana sini, goyang kanan kiri dan begitu kita preview banyak gambar yang gak fokus dan dia sembunyi di balik alasan "biar berkesan riil".
Belum lagi banyak scene ( terutama di adegan kejar2an ) yang menggunakan teknologi digital yang di-blow-up hingga semua warna pecah dan buat orang lain yang ngeliat, katanya sih, bikin sakit mata. Sementara buat kita yang bikin, bilangnya: ini khan film eksperimen.

Gak cuma eksperimen dengan kamera saja tapi juga di proses editingnya, temen gua itu jadi pusing sendiri sama stock shot yang ada karena banyak yang kontiniti framenya kalo digabung malah gak smooth dan akhirnya dia came up dengan solusi jitu: jump editing.

Waktu semua sudah selesai dan kita tonton bersama, gua cuma bisa bilang, 'treatment filmnya rada aneh'.
Temen gua bilang, 'ini namanya film indie, gaya aliran Dogme!'.
Gua cuma bisa ngangguk sok ngerti, tapi gua gak tahan buat komentar, 'dogme atau doggie buat gua mah yang penting ceritanya'.
Temen gua cuma ketawa lepas, 'ini film art and you just don't get it'.
Yeah..yeah, right! Nice try to feel guiltless, friend.

Dan sialnya gua baru tau belakangan kalau yang namanya film indie itu bukan masalah film goyang atau cerita nonsens dengan efek di mana-mana.
Tapi ternyata lebih tentang jalur distribusi yang gak melalui distribution companies yang besar dan film indie juga bukan berarti melulu memajang nama satu orang yang merangkap sebagai producer, sutradara, penulis, dop, art director, editor dan seterusnya.
Dan sekarang banyak orang yang sering muji atau malah nyerca sebuah film bukan lebih ke content cerita tapi lebih ke label: Indie? Art Movie? Commercial? atau Cult Movie?.
Seperti comment temen gua yang cewe' waktu gua mau muter film Amelie di rumah, dia males dan bilang, 'mending nonton The Saint, keren atau ini aja nih...Cinta Silver daripada Amelie, gak komersil'.
Dezzzzzigh!!!

Saturday, September 24, 2005

...and anything about you

# you no 1
you
lonely star
shiny one
where have you been?
let me pick you tonight
lighting up my dreams
stay
until the morning comes


# you no 2
one color
one conclusion
-you


# you no 3
it must be a gift
everytime i hear your name
i seem to see whole you
it must be a gift
i feel completely at peace
when i'm near you

Don't Take No For An Answer

You know what,
one day we had been pitching for a sizeable and important account.
We were in competition with 3 other big companies.
For almost three weeks we worked on our campaign.
Then at 5 pm one Wednesday evening we were told we were not on the shortlist of 2.
The Client gave reasons why.
Normally we say, well tough, on to the next one. Not this time.
I went to our chief executive and said,
'Call the client to tell him that we have another campaign prepared. Say you'll be in his office with it at 9 am tomorrow morning'.
We didn't have another campaign.
But by 8 am the next morning we had a completely new concept addressing the negatives he had found in the first one.
At 9 am it was presented.
On Friday evening we heard we had won the business.
It was a good weekend.
....


*story told by one of the very known CCO in Jakarta.

Thursday, September 22, 2005

You are what you wear

Dalam sebuah meeting antara saya, 3 orang dari EO dan klien di sebuah ruangan departemen pemerintahan yang ngurusin masalah olah raga dan pemuda, duduk di depan saya si klien dengan kemeja putih yang lengannya digulung 2 atau 3 lipatan dan celana jeans abu-abu...yang umurnya masih terbilang muda -sekitar 35an dan tidak lebih- untuk posisi dia yang cukup strategis di sana, mukanya mengingatkan saya dengan Roy Wisnu.
Dengan tampilan seperti itu, menurut saya, dia sangat tidak sesuai dengan image pegawai pemerintahan yang seperti saya bayangkan.

Beda dengan orang yang ada di sebelahnya, klien juga, tapi BUMNnya terasa banget, umurnya lebih tua tapi tidak lebih kalem dari si'Roy'. Sepanjang meeting dia lebih banyak mengangguk ( gak tau tanda mengerti, tanda setuju atau malah ngantuk ) dan sibuk dengan handphonenya.

Terus terang, dari awal meeting sampai akhirnya kami berdiri dan bersalaman, hanya sedikit pembahasan yang masuk ke otak saya. Untungnya saya punya seorang teman yang rajin mencatat semua yang ada tadi, jadi saya bisa nyontek sama dia.
Hilangnya konsentrasi saya karena 2 hal, satu karena saya salah kostum dan terganggu sama klien yang tua tadi karena sering interupsi hanya untuk mengangkat panggilan telepon dan alert tone smsnya.

Salah kostum?
Iya, tadi sebelum datang ke meeting ini saya habis menghadiri acara kawinan dan secara mendadak meeting yang harusnya jam 4 sore dimajukan ke jam 2, otomatis saya gak bisa balik ke rumah buat salin.
Yang ada saya datang dengan tetap pakai baju pesta.

Sebenarnya sih gak pesta-pesta amat, masih bisalah untuk meeting formal -celana panjang hitam sama atasan coklat tua- tapi ini khan hari Sabtu dan lebih ke diskusi bukan presentasi, dan yang paling bikin saya agak nggak comfort adalah baju saya yang super V neck.
Walaupun the way I wear it was not so provocative tapi tetep saja saya gak bisa complain ketika sesekali saya nangkep basah mata klien melihat ke arah dada saya.
Huh! Tapi saya khan gak bisa nyalahin mereka secara yang pakai baju seperti itu adalah saya.
Susah buat saya waktu itu untuk menjaga tetap stylishly professional.
And I did that for almost 2 hours.
Damn.

Setelah meeting selesai, kita -orang EO dan saya- mampir sebentar ke sebuah cafe di Taman Ria.
Teman saya ngetawain saya sekenceng-kencengnya di sana.
'Puas ya lo pada, gua mati-matian jaim biar gak dianggap mengundang'.
'Tapi khan ada hasil, Ca...buktinya ide lo buat nambahin content acara disetujui. Itu artinya incoming money for us', kata temen saya.
'Sumprrrit, sama aja lo anggep gua jualan bodi', bete abis.
'Tuh kan langsung marah. Lo tuh ya, maksud gua gak gitu laaah... biarpun lo pake baju kayak gini tapi kalo lo gak ngasi suggest sebagus tadi tetep aja gak akan menghasilkan. Tapi belum tentu juga si klien bakal mau ngedengerin lo kalau lo pake baju yang funky casual seperti maunya elo misalnya. You are what you wear lagiiii....
The way you dress mesti juga masuk ke circlenya klien. Karena gua percaya sama istilah you throw peanuts then you get monkey, lo mau dapet account gede tapi dengan performance lo seenaknya gitu... yaa mana mungkin'.
'Terserah lo deh, pokoknya abis ini temenin gua ke PS buat beli kaos'.

Dari sana kita ke Plaza Senayan.
Saya beli kaos tangan panjang warna biru dan langsung ganti saat itu juga.
Saya nggak mau salah kostum lagi, saya masih harus pergi ke acara teman lama yang bikin farewell party di rumahnya dan yang datang kebanyakan ibu-ibu pengajian, karena dia salah seorang pengurus yayasan muslim cendikia.

Selesai semua acara saya pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan saya teringat tentang you are what you wear tadi.
Buat saya mendadak kalimat itu mempunyai dua sisi tajam. Satu sisi lebih kepada kita pribadi dan sisi lainnya lebih kepada bagaimana orang menilai kita.
Yang satu mengekspresikan jati diri dan yang satunya lagi mencerminkan citra diri kita di mata orang lain.
Keduanya buat saya penting karena selayaknya mata uang yang punya dua sisi tapi tetap senyawa.
Penting karena wajib hukumnya buat tetap jadi diri sendiri sekaligus tetap memperhatikan penilaian orang.
Sekeras apapun kita bilang tidak mau dan tidak peduli dinilai tapi di bawah alam sadar kita sebenarnya penilaian itu mempengaruhi kita sedikit banyak.
Seharusnya itu bisa lebih mempertajam sensitifitas karakter kita.
Dan saya jadi berpikir, saya lebih cenderung ke sisi yang mana ya waktu di ruang meeting tadi?
Hmmmpph, capek juga mikir.

Friday, September 09, 2005

A Walk In a Tunnel

Kata orang foto berbicara lebih dari seribu kata.
Tadi saya melihat banyak sekali foto dari satu orang yang sama.
Dengan banyak sekali ekspresi tentu saja,.. dan banyak setting.
Hitam putih dan warna tapi sekarang sepertinya jadi abu-abu.
Abu-abu karena masih belum jelas mau ke mana,
ke hitam atau ke putih.
Saya melihat foto Dede.. musuh lama saya yang justru memberi saya beberapa inspirasi sebelum pada akhirnya saya dan Dede tidak lagi berdiam sapa.
Foto yang begitu hidup dan bercerita.
Saya juga lihat Dede tertidur.
Bukan di foto, tapi sungguhan.
Tidur yang kekal.
Tapi itu cuma fisik, saya yakin.
Secara spirit Dede pasti masih ada.
Mungkin sekarang lagi berjalan dengan dituntun malaikat,
seperti yang Mas Ebe bilang tadi:
walking in a tunnel.
Silent and dark tunnel.
Sampai nantinya akan sampai di suatu dimensi yang ringan dan peaceful.
Dimensi di mana akan terjadi banyak conversation seputar apa yang sudah dilakukan selama hidup sambil sesekali ada theme song story of lifenya.
Dimensi yang painless.
Dimensi yang tidak terbatas.
Yang menjadi persinggahan sebelum pada akhirnya ke sebuah tempat akhir.
Yang hitam...
atau yang putih tadi.
Have a peaceful sleep, friend.
Maaf karena tadi saya tidak menangis.
I wish I was a prayer expressing what I mean...
Have a nice walking there also.
May God loves you more.

*last pray for Dede and thanks for Ebe sharing the experience.

Wednesday, September 07, 2005

homeless

kamu
kamu
kamu
kamu
kamu
kamu
kamu
di mana-mana kamu
terjaga maupun terlelap
selalu kamu,
terus aku di mana?

Kid's World

Anak kecil dan dunianya
Adalah kelereng kaca
Berwarna-warni
Bergulir ke sana ke mari
Di lantai yang polos

Anak kecil dan dunianya
Adalah gasing yang berputar
Di tanah membuat garis dan lingkaran
Jelas dan tegas

Matanya seolah bertanya:
Inikah garis yang membuat jalan?
Ataukah lingkaran yang membuat batas?

Anak kecil dan dunianya
Adalah suatu kebahagiaan
Yang menyinarkan jalan yang lapang

Aku yang berada di hadapannya
Ditatap dengan mata yang tak kenal batas

*dedicated to Ulan and Q la.