Wednesday, December 29, 2010

we-rite-to-write

Menulis sesuatu itu sebenarnya bisa saja sesulit atau semudah yang kita pikirkan. Kalau setiap kita membuka halaman muka facebook, selalu ada pertanyaan: what's on your mind? dan kita pun mulai menuliskan apa saja yang memang saat itu terlintas di pikiran. Penting gak penting, mudah atau gak mudah buat dicerna tidak lagi jadi hal yang menjadi concern kita untuk mengeluarkan what's on our mind. Nah, sesederhana itu sebenarnya menulis.

Terkadang kita hanya ingin sekedar menulis, tanpa punya maksud tertentu atau harapan agar orang lain ikut membaca, memberi komentar, menghujat, memuji atau memberikan ikon jempol. Terkadang kita hanya ingin menulis, menumpahkan apa yang ada di pikiran atau memenuhi perasaan, tanpa orang harus bisa 'follow' apa yang jadi pemikiran dan emosi kita saat itu.

Menulis seringkali bisa jadi meditasi, paling nggak buat saya. Menulis, mendokumentasikan pemikiran dan perasaan kita. Menulis, memotret keadaan emosi dan dasar pemikiran kita di satu waktu tertentu. Sehingga kalaulah diperlukan sebuah review tentang bagaimana seorang 'oca' berkembang setiap tahunnya, saya bisa langsung membuka setiap tulisan saya dari dulu sampai waktu terakhir saya menulis.

Setiap hari setiap orang belajar, sekecil apa pun itu. Saya tidak pernah merasa berat untuk menulis setiap pembelajaran yang saya alami dari detik ke detik via media apa pun. Dari yang hanya 140 karakter huruf/angka sampai yang berkarakter-karakter. Sesibuk apa pun hari saya, saya pasti menulis. Lompatan-lompatan pemikiran dan emosi terlalu sayang untuk tidak dipindahkan dalam suatu medium yang tangible.

Do you follow me or not?
So, what are you waiting for?
Write everything. I mean everything.

Friday, December 17, 2010

menunggu

Ibu itu memakai baju kuning, seperti kemarin.
Sama seperti kemarin-kemarinnya. Tetap kuning.
Kali ini tangan kanannya memegang payung hitam. Hujan memang rintik-rintik.
Ia masih berdiri di sana, seperti kemarin.
Sama seperti kemarin-kemarinnya. Di samping pagar hitam sekolah TK, persis di depan tiang listrik.
Ia ramah karena selalu tersenyum ke beberapa orang yang menyapanya.
Seperti kepadaku kemarin ketika aku bertanya apakah yang dijemput belum keluar dari sekolah, ia hanya tersenyum. Tidak menjawab, hanya tersenyum.
Dan siang ini, ketika aku berteduh di warung mie seberang sekolah itu, seseorang berkata: "Kasihan, ibu itu selalu berdiri di sana sampai nanti kira-kira jam 12, ia baru pulang."
Dari seseorang itu aku baru tau kalau ia selalu menunggui anaknya keluar dari pagar itu. Pulang sekolah, di samping pagar, di depan tiang listrik.
Anaknya meninggal 2 bulan yang lalu, tertabrak mobil. Di depan sekolah, di dekat tiang listrik.
Dan ibu itu terus menunggu.