Tadi pagi ketika melintas di jalan raya,
dan harus berhenti karena macet atau nyala lampu merah,
selalu kaca mobil diketuk peminta-minta jalanan.
Dia akan terus mengetuk sampai kita memberinya uang receh,
dan berlalu ketika kita diam membatu seolah dia tidak ada.
Sampai kantor, kadang kebanyakan kita langsung nyelonong ke ruangan
tanpa peduli staf di front office
atau office boy dan satpam yang kita lewati.
Kebanyakan dari kita tidak peduli dengan tatapan mereka,
yang sebenarnya hanya berharap kita menoleh dan melepas senyum
-sapaan saja seringkali menjadi hal yang mewah bagi mereka- sehingga berharappun mereka enggan.
Begitulah, kita anggap semua berjalan baik-baik saja.
Karena tidak ada persoalan yang muncul akibat kebiasaan dan rutinitas kita itu.
Tapi tahu gak seh ?
Bahwa perlakuan kita di traffic light sudah membuat beban psikologis peminta jalanan itu kian menumpuk?
Beban karena tidak diberi, ditambah dengan sikap kita yang seolah mereka tak ada.
Boleh saja kita tidak memberi uang tapi sebenarnya kita tetap bisa meringankan beban mereka dengan memberi seulas senyum, bahasa tubuh atau bahkan ucapan yang menyejukkan.
Tentunya itu akan membuat mereka senang, ada keyakinan dalam hatinya bahwa masih ada orang yang menghargai keberadaan mereka sebagai manusia.
Ungkapan verbal berupa sebuah kata juga senyuman sebagai ungkapan empati adalah little stuff buat kita tapi besar artinya bagi mereka.
Dari sini saya tahu, apa yang salah ketika banyak orang mengeluh oleh dunia yang makin tidak ramah,
hidup yang keras, hari-hari yang panas.
Ternyata sikap abai kita terhadap little stuff tadi memberi andil atas terciptanya situasi itu.
Coba bayangkan indahnya dunia ketika semua orang tergerak untuk menunjukkan simpati, solidaritas dan rasa sayang.
Tanpa harus disembunyikan dan ditutup-tutupi.
Seperti kata orang bijak, seulas senyum dan sapa hangat akan mencerahkan sebuah hari.