Mau ngomong apa?
Apa yang bisa dikomunikasikan tentang ini?
Untuk pertama kalinya gw menganggap suatu pesan ternyata gak mudah untuk dibuat.
Bukan karena terlalu banyak atribut.
Justru karena gak ada sama sekali atribut.
Seharusnya bisa lebih mudah karena belum terbentuk persepsi.
Tapi kok ya susah.
Padahal sudah terkondisikan gak ada beban.
Gak seperti memecahkan kode dalam The Last Supper nya Da Vinci yang kontroversial itu.
Padahal bikin, bikin aja. Keluarin aja.
Gak harus takut dianggap melecehkan, seperti efek dari The Satanic Verses nya Salman Rushdie.
Padahal dijamin gak akan ada noise dalam proses penciptaannya.
Tapi knapa gak sesederhana seperti apa yang seharusnya disampaikan???
Kenapa setiap kebenaran menjadi berat pada awalnya?
Kalaupun mudah tersampaikan, pasti berat dirasakannya.
Padahal ini bukan tentang kepentingan gw.
Tuhan, bantu dong...
Melihat segala sesuatu tidak hanya dengan mata, pikiran dan segenap jiwa. Ini adalah aku. Itu adalah aku. Dia adalah aku. Mereka adalah aku. Juga sebaliknya. Bisa ada di antara tak ada. Tanpa batas ruang dan waktu. Selalu dan pasti. Kebebasan dalam keabadian.
Wednesday, May 24, 2006
Tuesday, May 09, 2006
Being Nothingness 1
Kamu terlalu reaktif.
Tidak, saya cuma antisipatif.
Apapun itu namanya, kamu tidak pernah memperhatikan perasaan orang karena sikapmu.
Selalu mengambil keputusan sendiri. Tahu tidak kalau sejak dulu sudah ada demokrasi, coba dengarkan juga dong input orang lain...
Justru karena saya mendengarkannya lebih dulu sebelum orang lain bersuara.
Jangan potong dulu, kamu bukannya mendengar tapi menentukan.
Mungkin, tapi demi kebaikan bersama.
Kebaikanmu saja mungkin. Egois.
Seringkali kita harus egois terhadap orang-orang tertentu.
Termasuk saya?
Jika memang harus, tentu saja.
God, kamu terbuat dari apa sih?
Nietzsche dan sedikit Kierkegaard mungkin.
Tapi mereka juga manusia kan? Kenapa kamu tidak bersikap biasa saja seperti orang pada umumnya?
Seharusnya manusia ya seperti saya.
Narsis.
Tidak, hanya coba bicara sebenarnya.
Tahu apa kamu soal kebenaran?
Seperti saya tahu diri saya.
Tuh, lagi-lagi kembali ke kamu. Tidak pernah memperhatikan orang lain...
Salah, saya selalu memperhatikan orang lain.
Iya, untuk kepentingan kamu sendiri kan?
Memang seharusnya untuk siapa? Bukankah semua yang ada di dunia ini untuk pembelajaran diri sendiri? Kita memang harus memperhatikan diri kita dulu, baru orang lain. Bikin diri sendiri benar saja dulu, baru bikin orang lain benar. Itu juga kalau orang lainnya mau.
Tapi kamu selalu berpusat ke diri sendiri, jarang sekali mikirin orang lain.
Mungkin diri saya masih banyak yang harus diperbaiki dan belum waktunya mikirin orang lain...
Kamu mencari pembenaran.
Tidak, adanya seperti itu.
Bohong.
Buat apa?
Ya, buat kepentingan kamu. Supaya tidak disalahkan. Supaya selalu merasa benar.
Kamu yang menilai seperti itu bukan saya.
Duh, saya capek menghadapi kamu.
Apalagi saya.
Kalau begitu kita tidak usah saling bicara saja.
Kalau menurut kamu yang paling benar seperti itu, baiklah.
Kamu membalikkan fakta seolah keputusan ini semata-mata karena saya.
Kamu yang memutuskan untuk tidak saling bicara. Bukan saya.
Saya hanya mengiyakan saja, dengan catatan hal ini membuat kamu merasa lebih baik.
See, kamu memulainya lagi.
Baiklah, kalau begitu saya tidak akan komentar apa-apa lagi.
Oke, mungkin lebih baik begitu, kamu diam saja. Kali ini biar saya yang memutuskan, karena saya kan laki-laki.
Baik, saya menurut.
Kita tidak perlu lagi saling bicara.
...
Tidak ada lagi pertemuan, walaupun tanpa ada pembicaraan.
…
Tidak boleh ada kamu, sewaktu ada aku.
Begitu juga sebaliknya. Deal?
...
Hayo, jawab!
Oke, deal.
Oke, saya merasa lebih lega sekarang.
Begitu?
Ya.
All the best for you then.
Yeah, you too. Good bye forever.
Ya, forever.
…
…
Sudah, tutup sana teleponnya.
Kamu dulu. Kamu yang menelepon. Nanti saya dibilang tidak sopan.
Hmmphf, di detik terakhir pun kamu masih ingin dianggap baik.
Maafkan kalau begitu. Bukan maksud saya. Tutuplah sekarang.
Oke, saya tutup sekarang. Dalam hitungan 3 detik line nya akan terputus.
Baik, saya tunggu.
.
..
...
...........................................................
Damn, sungkurkan egomu supaya kita bisa bicara lebih enak!!!! ( di ruang dan waktu yang berbeda ).
Damn, sebegitu saja ternyata kesanggupanmu menghadapiku... ( di ruang dan waktu yang berbeda ).
*diambil dari beberapa lembar tulisan cerita saya yang sedang dalam tahap penyelesaian.
Tidak, saya cuma antisipatif.
Apapun itu namanya, kamu tidak pernah memperhatikan perasaan orang karena sikapmu.
Selalu mengambil keputusan sendiri. Tahu tidak kalau sejak dulu sudah ada demokrasi, coba dengarkan juga dong input orang lain...
Justru karena saya mendengarkannya lebih dulu sebelum orang lain bersuara.
Jangan potong dulu, kamu bukannya mendengar tapi menentukan.
Mungkin, tapi demi kebaikan bersama.
Kebaikanmu saja mungkin. Egois.
Seringkali kita harus egois terhadap orang-orang tertentu.
Termasuk saya?
Jika memang harus, tentu saja.
God, kamu terbuat dari apa sih?
Nietzsche dan sedikit Kierkegaard mungkin.
Tapi mereka juga manusia kan? Kenapa kamu tidak bersikap biasa saja seperti orang pada umumnya?
Seharusnya manusia ya seperti saya.
Narsis.
Tidak, hanya coba bicara sebenarnya.
Tahu apa kamu soal kebenaran?
Seperti saya tahu diri saya.
Tuh, lagi-lagi kembali ke kamu. Tidak pernah memperhatikan orang lain...
Salah, saya selalu memperhatikan orang lain.
Iya, untuk kepentingan kamu sendiri kan?
Memang seharusnya untuk siapa? Bukankah semua yang ada di dunia ini untuk pembelajaran diri sendiri? Kita memang harus memperhatikan diri kita dulu, baru orang lain. Bikin diri sendiri benar saja dulu, baru bikin orang lain benar. Itu juga kalau orang lainnya mau.
Tapi kamu selalu berpusat ke diri sendiri, jarang sekali mikirin orang lain.
Mungkin diri saya masih banyak yang harus diperbaiki dan belum waktunya mikirin orang lain...
Kamu mencari pembenaran.
Tidak, adanya seperti itu.
Bohong.
Buat apa?
Ya, buat kepentingan kamu. Supaya tidak disalahkan. Supaya selalu merasa benar.
Kamu yang menilai seperti itu bukan saya.
Duh, saya capek menghadapi kamu.
Apalagi saya.
Kalau begitu kita tidak usah saling bicara saja.
Kalau menurut kamu yang paling benar seperti itu, baiklah.
Kamu membalikkan fakta seolah keputusan ini semata-mata karena saya.
Kamu yang memutuskan untuk tidak saling bicara. Bukan saya.
Saya hanya mengiyakan saja, dengan catatan hal ini membuat kamu merasa lebih baik.
See, kamu memulainya lagi.
Baiklah, kalau begitu saya tidak akan komentar apa-apa lagi.
Oke, mungkin lebih baik begitu, kamu diam saja. Kali ini biar saya yang memutuskan, karena saya kan laki-laki.
Baik, saya menurut.
Kita tidak perlu lagi saling bicara.
...
Tidak ada lagi pertemuan, walaupun tanpa ada pembicaraan.
…
Tidak boleh ada kamu, sewaktu ada aku.
Begitu juga sebaliknya. Deal?
...
Hayo, jawab!
Oke, deal.
Oke, saya merasa lebih lega sekarang.
Begitu?
Ya.
All the best for you then.
Yeah, you too. Good bye forever.
Ya, forever.
…
…
Sudah, tutup sana teleponnya.
Kamu dulu. Kamu yang menelepon. Nanti saya dibilang tidak sopan.
Hmmphf, di detik terakhir pun kamu masih ingin dianggap baik.
Maafkan kalau begitu. Bukan maksud saya. Tutuplah sekarang.
Oke, saya tutup sekarang. Dalam hitungan 3 detik line nya akan terputus.
Baik, saya tunggu.
.
..
...
...........................................................
Damn, sungkurkan egomu supaya kita bisa bicara lebih enak!!!! ( di ruang dan waktu yang berbeda ).
Damn, sebegitu saja ternyata kesanggupanmu menghadapiku... ( di ruang dan waktu yang berbeda ).
*diambil dari beberapa lembar tulisan cerita saya yang sedang dalam tahap penyelesaian.
Subscribe to:
Posts (Atom)