Thursday, September 22, 2005

You are what you wear

Dalam sebuah meeting antara saya, 3 orang dari EO dan klien di sebuah ruangan departemen pemerintahan yang ngurusin masalah olah raga dan pemuda, duduk di depan saya si klien dengan kemeja putih yang lengannya digulung 2 atau 3 lipatan dan celana jeans abu-abu...yang umurnya masih terbilang muda -sekitar 35an dan tidak lebih- untuk posisi dia yang cukup strategis di sana, mukanya mengingatkan saya dengan Roy Wisnu.
Dengan tampilan seperti itu, menurut saya, dia sangat tidak sesuai dengan image pegawai pemerintahan yang seperti saya bayangkan.

Beda dengan orang yang ada di sebelahnya, klien juga, tapi BUMNnya terasa banget, umurnya lebih tua tapi tidak lebih kalem dari si'Roy'. Sepanjang meeting dia lebih banyak mengangguk ( gak tau tanda mengerti, tanda setuju atau malah ngantuk ) dan sibuk dengan handphonenya.

Terus terang, dari awal meeting sampai akhirnya kami berdiri dan bersalaman, hanya sedikit pembahasan yang masuk ke otak saya. Untungnya saya punya seorang teman yang rajin mencatat semua yang ada tadi, jadi saya bisa nyontek sama dia.
Hilangnya konsentrasi saya karena 2 hal, satu karena saya salah kostum dan terganggu sama klien yang tua tadi karena sering interupsi hanya untuk mengangkat panggilan telepon dan alert tone smsnya.

Salah kostum?
Iya, tadi sebelum datang ke meeting ini saya habis menghadiri acara kawinan dan secara mendadak meeting yang harusnya jam 4 sore dimajukan ke jam 2, otomatis saya gak bisa balik ke rumah buat salin.
Yang ada saya datang dengan tetap pakai baju pesta.

Sebenarnya sih gak pesta-pesta amat, masih bisalah untuk meeting formal -celana panjang hitam sama atasan coklat tua- tapi ini khan hari Sabtu dan lebih ke diskusi bukan presentasi, dan yang paling bikin saya agak nggak comfort adalah baju saya yang super V neck.
Walaupun the way I wear it was not so provocative tapi tetep saja saya gak bisa complain ketika sesekali saya nangkep basah mata klien melihat ke arah dada saya.
Huh! Tapi saya khan gak bisa nyalahin mereka secara yang pakai baju seperti itu adalah saya.
Susah buat saya waktu itu untuk menjaga tetap stylishly professional.
And I did that for almost 2 hours.
Damn.

Setelah meeting selesai, kita -orang EO dan saya- mampir sebentar ke sebuah cafe di Taman Ria.
Teman saya ngetawain saya sekenceng-kencengnya di sana.
'Puas ya lo pada, gua mati-matian jaim biar gak dianggap mengundang'.
'Tapi khan ada hasil, Ca...buktinya ide lo buat nambahin content acara disetujui. Itu artinya incoming money for us', kata temen saya.
'Sumprrrit, sama aja lo anggep gua jualan bodi', bete abis.
'Tuh kan langsung marah. Lo tuh ya, maksud gua gak gitu laaah... biarpun lo pake baju kayak gini tapi kalo lo gak ngasi suggest sebagus tadi tetep aja gak akan menghasilkan. Tapi belum tentu juga si klien bakal mau ngedengerin lo kalau lo pake baju yang funky casual seperti maunya elo misalnya. You are what you wear lagiiii....
The way you dress mesti juga masuk ke circlenya klien. Karena gua percaya sama istilah you throw peanuts then you get monkey, lo mau dapet account gede tapi dengan performance lo seenaknya gitu... yaa mana mungkin'.
'Terserah lo deh, pokoknya abis ini temenin gua ke PS buat beli kaos'.

Dari sana kita ke Plaza Senayan.
Saya beli kaos tangan panjang warna biru dan langsung ganti saat itu juga.
Saya nggak mau salah kostum lagi, saya masih harus pergi ke acara teman lama yang bikin farewell party di rumahnya dan yang datang kebanyakan ibu-ibu pengajian, karena dia salah seorang pengurus yayasan muslim cendikia.

Selesai semua acara saya pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan saya teringat tentang you are what you wear tadi.
Buat saya mendadak kalimat itu mempunyai dua sisi tajam. Satu sisi lebih kepada kita pribadi dan sisi lainnya lebih kepada bagaimana orang menilai kita.
Yang satu mengekspresikan jati diri dan yang satunya lagi mencerminkan citra diri kita di mata orang lain.
Keduanya buat saya penting karena selayaknya mata uang yang punya dua sisi tapi tetap senyawa.
Penting karena wajib hukumnya buat tetap jadi diri sendiri sekaligus tetap memperhatikan penilaian orang.
Sekeras apapun kita bilang tidak mau dan tidak peduli dinilai tapi di bawah alam sadar kita sebenarnya penilaian itu mempengaruhi kita sedikit banyak.
Seharusnya itu bisa lebih mempertajam sensitifitas karakter kita.
Dan saya jadi berpikir, saya lebih cenderung ke sisi yang mana ya waktu di ruang meeting tadi?
Hmmmpph, capek juga mikir.